BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 25 Mei 2009

kecelakaan pemboran


“Kejadian Blowout (keluarnya fluida dari dalam bumi ke permukaan tidak terkendali), yang merupakan akibat langsung dari kegiatan pemboran di wilayah Sukowati dan Sidoardjo telah sangat mengagetkan masyarakat, menakutkan, dan tidak jarang memberi trauma seperti halnya kejadian gempa bumi maupun tsunami. Tentu hal ini dapat dilihat sebagai imbal-balik dari kegiatan manusia yang “bermain-main”, dan berusaha mengeksploitasi alam semesta.

Kejadian Blowout selama ini sering terjadi pada industri migas, dan jarang sekali mengakibatkan efek langsung kepada masyarakat, justru keselamatan pekerja yang memang dekat dengan sumber bencana sangat dikhawatirkan. Sehingga peraturan keselamatan kerja bidang migas sangat ketat, dapat kita lihat pada kasus Sukowati maupaun Sidoardjo tidak ada pekerja yang cedera, begitu pula dalam sejarah Blowout Indonesia maupun dunia hanya sedikit mencederai pekerja maupun manusia pada umumnya. Namun dalam kasus Sidoarjo telah mengakikatkan dampak terutama terhadap masyarakat yang sangat signifikan, walaupun pelan tapi pasti, hal ini diperparah dengan sangat lambatnya penanggulangan, baik karena keteledoran maupun karena faktor-faktor non-teknis yang disebabkan ketidak-tegasan dalam perintah serta tugas yang diberikan pada pelaksana di lapangan.

Akibat dari penanganan yang lambat dan lalai seperti ini mengakibatkan efeknya sangat dahsyat dan berlangsung sangat lama, dan akan menjadi sejarah baru dalam dunia migas atau mungkin satu-satunya di dunia, dimana panganan Blowout dilakukan lebih dari setahun.

Dalam statistik dunia sudah ratusan bahkan ribuan kali terjadi blowout, dan di Indonesia menurut catatan penulis dalam 35 tahun terakhir setidaknya telah terjadi blowout sebanyak 17 kali, sehingga hampir setiap 2-3 tahun terjadi kecelakaan Blowout pada saat pengeboran sumur. Bila dibandingkan dengan kegiatan pemboran 300-350 sumur setiap tahun, maka berarti hampir setiap 1000 sumur pemboran terjadi 1 kali kecelakaan blowout.

Disisi lain sejarah menunjukan bahwa seluruh kecelakaan blowout selalu dapat ditanggulangi, ada yang dengan cepat dan ada pula yang bisa berbulan-bulan.

Namun kecelakaan bukanlah hanya sebuah angka, tapi mengapa selalu berulang, Apakah kejadian ini sebagai imbalan dari alam kepada kita.

Antara Kecelakaan dan keteledoran

Indikasi awal sebuah Blowout adalah terjadinya kick yaitu masuknya fluida (air, minyak, atau gas) kedalam lubang sumur yang sedang dibor, kemudian kick yang tidak bisa dikontrol akan mengakibatkan fluida mengalir sampai ke permukaan yang dikenal dengan Blowout.

Apabila kick terdeteksi, setiap ahli pemboran sudah dibekali dengan keterampilan Pressure Control untuk menghentikannya. Sehingga seharusnya setiap ada indikasi kick selalu dapat ditanggulangi. Namun munculnya kick seringkali datang dalam waktu yang sangat cepat hanya beberapa menit saja, sehingga bencana Blowout yang sangat tidak diinginkan oleh setiap ahli pemboran bisa terjadi sewaktu-waktu.

Faktor alamiah saat pemboran dilakukan justru sangat dominan dalam kasus kick ini, karena pada saat perencanaan pemboran dimulai para pekerja hanya dibekali dengan prediksi yang dibuat ahli geologi dan geofisik tentang lapisan batuan yang akan ditembus, baik kualitas maupun perkiraan tekanannya, namun alam di bawah tanah dengan posisi ribuan meter tidak ada yang bisa memastikan, oleh karena itu kecelakaan kick dan blowout ini tetap saja terjadi dan mungkin tetap akan terjadi pada pemboran-pemboran sumur migas berikutnya.

Namun Kejadian Blowout dapat dihindari apabila selama pemboran dilakukan dengan penuh kehati-hatian dengan selalu melaksanakan pekerjaan sesuai SOP (Standard Operating Procedure), serta sebelumnya dilengkapi dengan informasi yang baik dari team Geologi dan geofisik.

Penyebab Kick atau blowout

Selama ini Blowout yang dikenal ada tua jenis, yaitu Surface Blowout (SBO) dan Underground Blowout (UGBO), dimana SBO bila fluida keluar melalui lubang pemboran, sedangkan UGBO bila keluar bukan dari lubang pemboran. Penanggulangan untuk SBO jauh lebih mudah dan cepat, tidak jarang dapat dilakukan hanya dalam beberapa jam, namun UGBO akan memerlukan waktu yang cukup lama, bisa mencapai berbulan-bulan.

Kasus di Sumur Sikowati-5 akhir bulan Juni 2006 di Bojonegoro adalah masih dalam tahap Kick, bukan blowout, karena gas yang naik masih dapat terdeteksi sehingga mampu ditangani dan dikeluarkan, kemudian diinjeksikan lumpur yang sesuai dan pemboran dapat diteruskan sesuai rencana semula. Namun bila kick ini tidak ditangani dengan tuntas, tidak dikeluarkan, bisa saja malah terjadi SBO ataupun UGBO yang mengerikan melebihi kasus Sidoardjo dapat terjadi, berutunglah tim Petrochina dengan segera menyelesaikan kick ini dan rnengeluarkan gas dalam annulus lubang sumur dengan terkendali. Adapun gas yang keluar harus dibakar sehingga tidak membahayakan lingkunan dan penduduk, justru akan sangat berbahaya bila dibiarkan lepas ke udara dan tidak dibakar, atau sebaliknya hanya menunggu dan menutup sumur tanpa
melakukan apa-apa, justru akan memicu terjadinya SBO ataupun UGBO.

Kasus di Sumur Banjarpanji-1 Sidoardjo pada saat Kick pertama kali terjadi telah ditanggulangi pula oleh team Lapindo, namun karena Pipa pemboran hanya sampai kedalaman 4241 feet (setengah lubang dengan kedalaman 9297 feet) maka masih ada potensi kick lanjutan (kedua, ketiga, dst) dapat terjadi sebelum seluruh lubang terisi dengan fluida lumpur yang memiliki densitas yang melebihi EMW (Equivalent Mud Weight, Tekanan batuan yang dinyatakan dalam satuan berat Lumpur).

Dari Laporan pemboran harian terbaca bahwa memang terjadi penganan yang mengakibatkan tekanan di dalam lubang melebihi tekanan rekah batuan, hal ini bisa terjadi karena sejak kedalaman 3580 feet sampai 9297 feet (5717 feet atau 1750 meter) lubang dalam keadaan terbuka tanpa pipa pelindung yang disebut Casing, sehingga terjadi UGBO. Kekhasan sumur BJP-l adalah, bukan gas atau minyak yang keluar, akan tetapi air asin-panas yang kemudian diperjalanan ke permukaan membawa tanah liat (Shale) sehingga muncul di permukaan sebagai lumpur-panas, maka diperlukan penanggulangan yang khusus.

Kedua kejadian di Jawa Timur ini menyadarkan kita, bahwa teknologi pemboran migas adalah termasuk teknologi yang beresiko kecelakaan sangat tinggi. Kick dan blowout adalah salah satu kecelakaan yang sering dihadapi dalam industri migas diantara puluhan jenis kecelakaan lainnya yang sering muncul.

Resiko Pemboran

Resiko pemboran dapat mengakibatkan kerugian finansial sampai ratusan juta dollar, kerugian lingkungan yang bisa tercemar, dan resiko bisa merenggut nyawa manusia terus berlanjut, namun Pemboran tidak harus dilarang di tempat sulit sekalipun, seperti di tempat yang penuh penduduk, di laut yang sangat dalam, namun pemboran di tempat sulit harus dilakukan dengan standar keselamatan dan keamanan yang tinggi. Hal ini mestinya tertuang dalam suatu dokumen yang mengikat antara pemerintah sebagai wakil masyarakat dengan perusahaan pelaksana, misalnya dalam RPL & RKL atau dalam dokumen tersendiri seperti Contingency Plan atau Emergency Respon Plan (Rencana Tanggap Darurat).

Namun menghindari resiko harus terus diusahakan, mulai dari peralatan yang baik, sampai pekerja yang memiliki keterampilan dan bersertifikat. Sehingga selama para pekerja melakukannya sesuai kaidah keteknikan yang benar. Dalam kasus BJP-1 Faktor terpenting yang melemahkan adalah belum terpasangnya pipa pelindung (casing) yang cukup panjang, dimana terdapat lapisan Shale sepanjang 2520 feet (750 meter) yang terbuka sehingga mengakibatkan pipa pemboran terjepit dan telah menghambat pengangan Kick dengan benar, serta lubang menjadi lebih mudah terpecahkan oleh tekanan di dalam lubang pemboran.

Siapa yang Bertanggung Jawab

Kejadian di BJP-l Sidoardjo jelas merupakan kecelakaan pada proses pemboran, sehingga penanggulangannya wajib dilaksanakan oleh operator pelaksana, sesuai dengan kaidah dalam kontrak kerjasama Migas, yaitu pihak pemerintah menyerahkan konsesi untuk dikelola dengan biaya dan resiko ada pada kontraktor, namun pemerintah akan membayar segala pengeluaran apabila lapangan sudah berproduksi di kemudian hari, namun pengeluaran yang dimaksud adalah pengeluaran dalam rangka memproduksikan migas, bukan kecelakaan akibat keteledoran, apalagi karena selama pelaksanaan sudah diluar dari rencana dan ketentuan yang ada.

Oleh karena itu biaya mematikan semburan bisa saja nantinya dibayar pemerintah dengan skema Cost Recovery (dibayar bila sudah berproduksi), namun beban kecelakaan yang mengakibatkan masyarakat dirugikan harus menjadi tanggung-jawab Lapindo, apalagi jual-beli tanah seluas 600 Ha tentu yang membayar harus Lapindo karena sertifikatnya akan menjadi kepemilikan Lapindo (ini sebagai jula-beli tanah biasa), begitu pula kerugian pengusaha yang terendam, dan reklamasi lingkungan sudah jelas harus ditanggung oleh Lapindo secara bertanggung jawab.

Sekelompok masyarakat ada yang berkeinginan untuk menyatakan kejadian di BJP-1 sebagai “Bencana Alam”, sehingga semua pengeluaran penanggulangan menjadi tanggung-jawab pemerintah, akan sangat menoreh keadilan dan menyakiti hati nurani, semoga kita bersabar atas cobaan yang sedang Tuhan hadapkan di depan kita…Amin.

Rudi Rubiandini R.S.,
Dosen ITB dan Mantan Ketua Tim Investigasi Independen Lumpur Lapindo

KeteranganL: Makalah ini dibagikan pada acara “Dikusi Publik Mencari keadilan Bagi Korban Lumpur Lapindo” yang diselenggarakan di Gedung Muhamadiyah, Jakarta, 29 Mei 2007

0 komentar: