BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 10 November 2009

hse

www.ginandjar.com 1
PENJELASAN MENGENAI PROYEK EXOR-I BALONGAN
Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Jakarta, 9 Juli 2002
Sehubungan dengan adanya masalah sekitar pembangunan proyek Exor-I Balongan di mana nama kami dilibatkan, seperti
yang kami ikuti dalam pemberitaan di media massa termasuk dalam liputan kegiatan Pansus Pertamina khususnya setelah
dengar pendapat dengan pejabat-pejabat Kejaksaan Agung, maka dengan hormat bersama ini kami ingin menyampaikan
penjelasan tentang masalah tersebut dan keterkaitan kami didalamnya. Penjelasan ini akan kami coba lakukan sejak awal
proyek ini direncanakan, bukan saja pada masa kami menjabat Mentamben pada periode 1988-1993, yaitu dalam Kabinet
Pembangunan V, tetapi juga ketika kami masih menjadi Menmud UP3DN/Ketua BKPM periode 1983-1988.
Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa dengan
surat tanggal 11 Juni 2001 kami telah menyampaikan
kepada Kejaksaan Agung pada periode pemerintahan yang
lalu, penjelasan tentang masalah ini. Dan pada tanggal 17
September 2001, kami telah memenuhi panggilan dari Tim
Gabungan Kejaksaan Agung RI-BPKP-Pertamina (Exor-I
Balongan) untuk memberi keterangan dan klarifikasi
mengenai apa yang kami ketahui mengenai kilang Exor-I
Balongan. Dan terakhir dengan surat tanggal 5 Juni 2002
kami kembali menyampaikan penjelasan kepada Jaksa
Agung, untuk menyampaikan kepada Jaksa Agung
penjelasan yang telah kami berikan kepada Tim Gabungan,
sekaligus menambah beberapa keterangan yang bahanbahannya
kami peroleh kemudian.
Penjelasan dibawah ini akan mencakup penjelasan
yang telah kami sampaikan kepada Jaksa Agung tersebut.
Sejak Repelita IV Pemerintah melakukan berbagai
upaya untuk menyiapkan bangsa kita memasuki era tinggal
landas yang diharapkan dapat terwujud pada akhir PJP I.
Salah satu prasyarat untuk tinggal landas adalah
terciptanya suatu tingkat kemandirian yang
memungkinkan suatu bangsa untuk melanjutkan
pembangunan dengan kekuatannya sendiri. Oleh karena
itu, berbagai upaya dicurahkan untuk membangun kemampuan
industri, teknologi dan sumberdaya manusia.
Dengan semangat itu, dengan mendorong penggunaan
produksi dalam negeri oleh masyarakat kita dan oleh
pemerintah sendiri, akan terbangun lapisan dunia usaha
nasional yang mampu memproduksi barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan untuk ekspor.
Dengan demikian diharapkan pembangunan dapat makin
didukung oleh kemampuan dalam negeri dan sekaligus
makin mengurangi ketergantungan terhadap impor, dan
terhadap utang luar negeri. Dalam rangka itu, peningkatan
nilai tambah merupakan bagian yang penting dari strategi
industrialisasi agar kita tidak hanya mengekspor bahan
mentah, tetapi juga hasil olahan, sehingga kita dapat
mendorong perluasan lapangan kerja serta memperoleh
nilai yang lebih besar dari hasil ekspor kita. Kesemuanya
itu dilakukan dengan kesadaran bahwa bangsa Indonesia
perlu mempersiapkan diri dalam mengantisipasi masa
depan yang cirinya adalah dunia yang makin menyatu dan
persaingan global yang makin ketat.
Sektor pertambangan dan energi yang merupakan
sektor penting dalam menunjang pembangunan, mendapat
perhatian yang serius mengingat kebutuhan akan energi di
masa depan akan makin meningkat dan sektor ini juga
merupakan salah satu penghasil devisa utama. Di sektor
migas misalnya, perlu diantisipasi kecukupan pasokan
BBM di dalam negeri serta penguatan industrinya. Kondisi
di mana kita pada waktu itu hanya mengekspor minyak
mentah dan masih mengimpor BBM dalam volume yang
cukup besar untuk keperluan dalam negeri, perlu
dipecahkan.
Konsep export oriented refinery (EXOR)
berkembang dan ditetapkan sebagai kebijaksanaan
pemerintah pada masa Kabinet Pembangunan IV (1983-
1988). Konsep ini didasari wacana pemikiran untuk
meningkatkan nilai tambah dari minyak bumi yang kita
miliki agar kita tidak hanya menjadi pengekspor minyak
mentah, adanya jaminan keamanan suplai atas kebutuhan
BBM di dalam negeri yang makin meningkat, dan
mengurangi ketergantungan kita pada luar negeri akan
produk BBM.
Upaya yang dilakukan Pertamina untuk
menambah produksi BBM pada waktu itu antara lain
adalah dengan meningkatkan efisiensi kilang-kilang yang
ada. Namun melihat kecenderungan peningkatan
konsumsi BBM di dalam negeri, dengan hanya
meningkatkan produktivitas dan efisiensi kilang yang ada
saja, maka kebutuhan BBM di masa depan dipandang
tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, dipandang perlu
membangun kilang-kilang baru.
Mengingat kemampuan negara yang terbatas,
maka untuk pembangunan kilang ini diperlukan adanya
kerjasama dengan luar negeri. Namun harus diupayakan
www.ginandjar.com 2
bahwa pembangunan kilang tersebut tidak menambah
beban bagi negara, baik beban utang maupun beban
terhadap APBN. Pendanaan proyek ini tidak boleh
memperberat debt service ratio (DSR) Pemerintah. Oleh
karena itu, dikembangkan konsep export oriented refinery
di mana hasil penjualan dari kilang itu digunakan untuk
membiayai investasi tersebut. Jadi pendanaannya dengan
sistem yang lazim disebut non-recourse, di mana seluruh
pendanaan untuk membiayai pembangunan proyek tidak
membebani APBN dan tidak dijamin oleh Pemerintah1).
Demikianlah apa yang kami ketahui dari konsep
export oriented refinery yang berkembang dan telah
ditetapkan sebelum kami menjadi Mentamben.
Pihak luar negeri yang berminat terhadap
pembangunan kilang dengan konsep ini pada waktu itu
adalah Inggris. Dalam kunjungan ke Indonesia pada tahun
1985 P.M. Inggris, Margaret Thatcher, menyampaikan
minat untuk membantu modernisasi/ pembangunan kilang
minyak di Indonesia, yang akan didukung dengan dana
hibah (grant) dan bantuan bersyarat lunak (soft loan). Hal
tersebut kemudian menjadi kesepakatan kedua kepala
pemerintahan. Salah satu hal yang patut diketahui adalah
bahwa tawaran grant dan soft loan lazimnya diberikan
secara mengikat, yaitu bahwa perusahaan dari negara
donor dilibatkan dalam pelaksanaannya. Kami ketahui
kemudian bahwa perusahaan yang diutarakan oleh pihak
Inggris untuk melaksanakan kerjasama ini adalah Foster
Wheeler dan bahwa yang semula mereka rencanakan
adalah menambah kapasitas kilang Balikpapan.
Karena telah merupakan kesepakatan antara dua
pemerintah, dengan sendirinya tawaran tersebut
ditindaklanjuti oleh instansi-instansi kedua belah pihak.
Di pihak Inggris, Kedutaan Besar Inggris aktif mewakili
pemerintahnya.
1 Mengenai sistem pembelanjaan non recouse ini, kami
sendiri bukan ahlinya, namun ada berbagai literatur, antara
lain dalam buku Manajemen Proyek (Dari Konseptual
Sampai Operasional), karangan Iman Soeharto, Dosen
Universitas Indonesia, diterbitkan oleh Penerbit Erlangga,
1999, halaman 177, 183, s/d 185. Dalam buku tersebut
antara lain dijelaskan bahwa “Dilihat dari latar belakang
jaminan untuk satu pendanaan proyek, dikenal pendanaan
yang disebut non-recourse project financing (NRPF).
Berbeda dengan pendanaan proyek bentuk lain yang
umumnya mendapatkan dana dengan jaminan dari
perusahaan pemilik atau sponsor pemerintah, atau pihak
ketiga, maka pada NRPF, tanggungan didasarkan atas
kesinambungan usaha (viability) unit ekonomi hasil proyek
itu sendiri dan aset unit tersebut sebagai jaminan (collateral)
pembayaran kembali utang” (halaman 177). Dengan
sendirinya ada perbedaan biaya proyek antara kedua sistem
tersebut yang terkait dengan masalah jaminan, resiko dan
sebagainya. Untuk dapat membandingkan antara keduanya,
kepada sistem yang recourse perlu ditambah estimasi
berbagai biaya tersebut (lihat lampiran 30).
Di pihak Indonesia, instansi yang berperan aktif
disamping Pertamina adalah BPPT, seperti dapat dilihat
pada korespondensi terlampir (lampiran 2). Dalam surat
dari Foster Wheeler kepada Pertamina tanggal 3 Juli 1986
disebutkan telah adanya pertemuan dengan Prof. Kho Kian
Ho dari BPPT pada bulan Mei tahun yang sama.
Keikutsertaan BPPT sejak awal dalam
mempersiapkan proyek kerjasama tersebut, dapat dilihat
dari surat Menristek/Ka. BPPT kepada Presiden tanggal 1
Juni 1987 (lampiran 3).
Dalam surat itu Menristek/Ka. BPPT
menyampaikan prinsip-prinsip pokok proyek tersebut
kepada Presiden. Dalam surat tersebut disarankan agar :
1) Pembangunan kilang baru hendaknya dilakukan di
Jawa Barat bagian utara antara Jakarta dan Cirebon
(Balongan sekarang), dengan berbagai pertimbangannya.
Jadi bukan penambahan kapasitas kilang di
Balikpapan.
2) Kilang tersebut harus berupa kilang yang berorientasi
ekspor (export oriented refinery).
3) Pembiayaan pembangunan kilang berdasarkan “nonrecourse”.
4) Diingatkan pula urgensi waktu, karena di Thailand
akan dibangun pula sebuah kilang yang berorientasi
ekspor.
Dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan
non-recourse adalah semacam penanaman modal asing ke
Indonesia dan suatu Joint Venture yang longgar (lampiran
3 halaman 5). Dalam surat tersebut dinyatakan pula bahwa
Foster Wheeler telah menyampaikan usulan pendahuluan
(preliminary proposal) kepada Pertamina dan BPP
Teknologi mengenai Export Oriented Refinery tersebut,
yang pada dasarnya telah memenuhi semua persyaratan
dasar yang diminta (lampiran 3 halaman 3). Menristek/Ka.
BPPT menyarankan agar Presiden menugaskan Pertamina
untuk memulai memproses dan melakukan negosiasi
dengan British Petroleum dan Foster Wheeler. Dari surat
tersebut tampak pula bahwa laporan dalam surat tersebut
merupakan rangkaian laporan-laporan sebelumnya
(lampiran 3 halaman 4).
Prinsip-prinsip tersebut itulah yang kita ketahui
kemudian menjadi prinsip-prinsip pokok pembangunan
kilang di Balongan itu, termasuk peran konsorsium Foster
Wheeler didalam proyek tersebut.
Selanjutnya, Dirut Pertamina dengan surat tanggal
14 Juli 1987 menyampaikan tanggapan resmi Pertamina
atas proposal yang disampaikan oleh konsorsium Foster
Wheleer mengenai proyek itu. Pertamina meminta agar
ada studi lebih rinci mengenai kelayakan dan rencana
pembiayaan proyek ini, antara lain adanya ketentuan
mengenai non recourse financing serta masalah pemasaran
www.ginandjar.com 3
jangka panjang dari produk-produk yang akan dihasilkan
oleh Exor tersebut (lampiran 4).
Dubes Inggris menemui kami pada bulan Juli
1987, dalam kedudukan kami sebagai Ketua BKPM yang
pada waktu itu kami rangkap sebagai Menteri Muda
UP3DN. Dubes Inggris datang bersama calon-calon
investor tersebut. Kami menerima mereka karena dalam
konsep pendanaan proyek tersebut, salah satu option-nya
adalah investasi PMA seperti yang digambarkan dalam
surat Menristek/Ka. BPPT tersebut diatas.
Pembicaraan pada waktu itu meliputi antara lain
rencana Pemerintah Indonesia untuk membangun kilang
Exor dengan mempertimbangkan bantuan Pemerintah
Inggris dengan kerangka seperti yang dikemukakan dalam
surat Menristek/Ka. BPPT tersebut diatas. Persiapan
pembangunan proyek ini ditangani oleh instansi-instansi
yang secara fungsional berwenang menangani masalah ini,
khususnya Pertamina dan BPPT.
Pada waktu itu juga dibicarakan tentang berbagai
konsep pendanaan. Terutama PMA seperti konsep yang
dikemukakan dalam surat Menristek/Ka. BPPT tersebut
diatas, namun jelas PMA yang lazim berlaku tidak
dimungkinkan, karena pada waktu itu peraturan yang
membolehkan pihak asing membangun kilang di dalam
negeri belum ada. Pertemuan kami dengan Dubes Inggris
yang membawa perusahaan-perusahaan yang ditunjuk oleh
pemerintahnya untuk melaksanakan proyek, adalah sesuai
fungsi dan tanggung jawab kami sebagai Ketua BKPM
seperti tersebut di atas.
Komunikasi berikutnya dari Dubes Inggris
(lampiran 5) adalah untuk menyampaikan kepada kami
hasil studi Foster Wheeler (lampiran 6) yang dilakukannya
atas permintaan Pertamina. Namun oleh karena konsep
pendanaan proyek tersebut tidak lagi merupakan investasi
(dalam rangka PMA), maka kami tidak menanggapi dan
tidak melakukan tindak lanjut apa pun terhadap laporan
tersebut, karena masalah tersebut sepenuhnya tidak lagi
menyangkut kewenangan kami selaku Ketua BKPM.
Pada waktu kami diangkat menjadi Mentamben
bulan April 1988, kami ketahui bahwa Pertamina dengan
suratnya tanggal 7 Maret 1988 kepada Mentamben/Ketua
DKPP, Prof. Subroto, telah melaporkan hasil evaluasi
Pertamina atas tawaran EXOR dari konsorsium Foster
Wheeler, dan mengajukan permintaan persetujuan prinsip
untuk pengembangan lebih lanjut proyek EXOR tersebut
(lampiran 7).
Sebagai jawabannya melalui surat tanggal 22
Maret 1988, Mentamben/Ketua DKPP, Prof. Subroto
menyetujui pembangunan kilang yang berorientasi ekspor
tersebut, yang dibangun dengan sistem pendanaan nonrecourse
(lampiran 8). Dengan demikian pembangunan
proyek EXOR pada tingkat kebijaksanaannya, sesuai
aturan undang undang, telah ditetapkan oleh pemerintah
dalam hal ini DKPP pada masa Kabinet Pembangunan IV.
Ketika kami menjabat sebagai Mentamben pada
Kabinet Pembangunan V (April 1988 – Maret 1993), kami
diingatkan oleh Presiden mengenai pentingnya proyek ini,
dan diminta untuk segera menindaklanjuti. Salah satu
aspek yang penting adalah adanya tawaran dana dari
Pemerintah Inggris seperti yang disepakati pada waktu
kunjungan P.M. Margaret Thatcher. Langkah yang kami
lakukan dalam rangka itu adalah memberitahu Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas melalui surat tanggal 16 September 1988
(lampiran 11) tentang adanya permohonan grant dan soft
loan yang diajukan Foster Wheeler kepada Pemerintah
Inggris untuk proyek ini. Kami meminta agar Bappenas,
sesuai prosedur sebagai instansi yang berwenang, untuk
dapat memproses lebih lanjut bantuan tersebut. Karena
yang berwenang menentukan besarnya nilai proyek adalah
Menko Ekuin dan Wasbang, surat tersebut kami tembuskan
juga kepada Menko Ekuin dan Wasbang. Langkah
selanjutnya yang kami lakukan adalah membentuk Tim
Pengarah Pengembangan Kilang Minyak Untuk Ekspor
yang diketuai oleh Dirjen Migas (lampiran 12). Tim ini
yang anggotanya mewakili berbagai instansi dibentuk
bukan hanya untuk kilang Exor-Balongan saja, tetapi
untuk merumuskan kebijaksanaan pembangunan kilang
Exor pada umumnya.
Sebagai catatan atas saran tim tersebut konfigurasi
kilang ini telah mengalami perubahan dalam kapasitas
maupun jenis minyak yang diolah serta unit-unitnya.
Semula kapasitas kilang adalah 100 ribu bph menjadi 125
ribu bph, dengan minyak yang diolah semula sebagian
besar minyak mentah ringan, dan hanya sebagian kecil
minyak berat, kemudian menjadi 80% minyak berat (Duri)
dan 20% minyak ringan (Minas). Demikian pula kilang ini
dilengkapi dengan beberapa unit pengolahan yang akan
meningkatkan kemampuan dan jenis produksinya. Dengan
sendirinya perkiraan-perkiraan yang dibuat pada waktu
proyek ini mulai direncanakan berbeda dengan kondisi
akhirnya
Perlu kami catat pula bahwa dalam surat tanggal 6
September 1988 kepada Dirjen Migas (lampiran 10),
Foster Wheeler mengkonfirmasikan prinsip-prinsip
Pemerintah Indonesia dalam pembangunan Kilang Exor ini
yakni :
a) Proyek ini tidak boleh membebani anggaran negara,
dan karenanya tidak boleh ada pinjaman kepada
Pemerintah maupun Pertamina dan tidak ada
pembebanan terhadap aset Pertamina.
b) Proyek ini tidak boleh menimbulkan dampak yang
merugikan bagi neraca keuangan Pertamina, dengan
kata lain pendapatan Pertamina tidak boleh berkurang
dengan adanya proyek ini.
www.ginandjar.com 4
Selanjutnya pada tanggal 26 Juli 1989 Foster
Wheeler mengirim surat kepada Pertamina. Surat ini
sebenarnya tidak ada tembusan baik kepada Presiden
maupun kepada Mentamben. Namun atas surat yang
bentuk dan isinya sama dengan yang dikirimkan Foster
Wheeler kepada Pertamina tersebut, Presiden memberi
instruksi kepada kami agar untuk tidak kehilangan waktu,
segera ada keputusan mengenai masalah ini (lampiran 14).
Presiden juga menyebutkan bahwa telah keluar Keppres
mengenai kerjasama antara Pertamina dan pihak swasta
untuk pengolahan Migas, yang dimaksud adalah Keppres
Nomor 42 Tahun 1989 (lampiran 16a, yang peraturan
pelaksanaannya ditetapkan oleh Mentamben dengan
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
03/P/39/M.PE/1989, lampiran 16b).
Sebagai catatan, kami sendiri tidak tahu
bagaimana Presiden memperoleh surat ini. Namun adanya
disposisi Presiden atas surat ini menunjukkan bahwa
Presiden memperhatikan proyek ini dengan sungguhsungguh.
Dalam berbagai kesempatan beliau juga
menanyakan perkembangan proyek ini, dan seperti
tercermin dalam disposisi tersebut diatas, Presiden
berulangkali mengingatkan agar prosesnya dilakukan
dengan cepat. Kekhawatiran kehilangan waktu itu telah
ada sejak awal seperti tergambar pada surat Menristek/Ka.
BPPT bulan Juni 1987 tersebut diatas, jadi bahkan dua
tahun sebelumnya (lampiran 3). Petunjuk dan concern
Presiden itu kami beritahukan kepada Pertamina, baik
kepada Dirut maupun Direktur Pengolahan Pertamina yang
bertanggung jawab atas proyek itu, sekaligus meminta
penjelasan untuk dilaporkan kepada Presiden sesuai
permintaan beliau. Menurut pasal 16 ayat (5) DKPP
berhak meminta segala keterangan yang diperlukan kepada
Direksi.
Kami tidak membuat copy dan meneruskan
disposisi Presiden tersebut kepada Pertamina, dan hanya
menyampaikan isi pokoknya, yaitu untuk tidak kehilangan
waktu agar segera ada keputusan. Pertimbangan kami
melakukan demikian utamanya adalah karena pada
lampiran surat di mana Presiden memberi disposisi, beliau
menggarisbawahi dan memberi tanda dengan garis-garis
miring nilai biaya lumpsum yang ditawarkan konsorsium
kepada Pertamina. Kami tidak ingin adanya tanda-tanda
tersebut mempengaruhi Pertamina yang sedang
mengadakan negosiasi dengan pihak konsorsium. Kami
menghendaki agar Pertamina mengadakan negosiasi
sekuat-kuatnya dan hasilnya dilaporkan kepada instansi
Pemerintah yang berwenang untuk memutuskan.
Seperti telah dikemukakan diatas, proses negosiasi
antara Pertamina dan pihak konsorsium sudah dimulai
sebelum kami menjadi Mentamben. Secara resmi hasil
negosiasi baru dilaporkan oleh Pertamina kepada
Mentamben sebagai Ketua DKPP pada tanggal 2 Agustus
1989 (lampiran 15a). Dalam laporan itu Pertamina
menyampaikan bahwa biaya pembangunan kilang yang
diajukan konsorsium pada keadaan 26 Juli 1989 masih
lebih tinggi jika dibandingkan dengan perhitungan
Pertamina. Untuk menurunkan total perkiraan biaya,
Pertamina mengusulkan alternatif agar konsorsium
membangun process plant saja dan sisanya seperti offsite
dan utilities, termasuk owner scope dibangun oleh
Pertamina.
Seterima surat itu, kami menginstruksikan
Sekretaris DKPP, Sdr. Ir. Qoyum untuk secepatnya
menyiapkan surat ke Pertamina, agar melaporkan hasil
negosiasi dengan pihak kontraktor untuk proyek ini
kepada Menko Ekuin dan Wasbang (lampiran 15b). Kami
minta secepatnya surat itu disiapkan karena mengindahkan
petunjuk Presiden dalam disposisi beliau tersebut diatas,
yaitu agar tidak kehilangan waktu (lampiran 14). Namun,
sebelum konsep surat itu sampai kepada kami, kami
menerima pandangan dari Staf Ahli Menteri Negara
Ristek/Ka. BPPT, Prof. Kho yang juga adalah Ketua
Kelompok Kerja III DKPP (dan yang sebagai Staf Ahli
Menteri Negara Ristek/Ka. BPPT terlibat sejak awal
dalam persia pan pembangunan kilang EXOR), atas surat
Pertamina kepada Mentamben tersebut. Dengan surat
tanggal 8 Agustus 1989 kepada Menristek/Ka. BPPT, yang
juga anggota DKPP, dengan tembusan kepada Mentamben
serta Dirut Pertamina2), Prof. Kho antara lain
mengingatkan bahwa alternatif yang diusulkan Pertamina
tersebut, akan menyebabkan proyek EXOR ini bukan nonrecourse
lagi (lampiran 18a). Dalam surat tersebut Prof.
Kho telah mengevaluasi proyek ini, baik dari sisi
teknis/teknologi, kemampuan konsorsium, kemampuan
Pertamina untuk membangun sendiri, dan analisa biaya
proyek. Kegiatan ini dilakukan oleh Prof. Kho sebagai
wakil BPPT dalam kelompok kerja (KK) DKPP dan Ketua
KK-III, bukan hanya terhadap proyek Balongan ini saja,
tetapi juga terhadap proyek Pertamina lainnya terutama
yang berskala besar.
Sebagai catatan, DKPP dibantu oleh kelompokkelompok
kerja, yang sejak tahun 1984, terdiri atas KK-I
untuk oil cost accounting dan oil quantity control, KK-II
2 Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah
membakukan tata persuratan di lingkungan instansi
Pemerintah. Dalam Pedoman Umum Tata Persuratan yang
ditetapkan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara Tahun 1993, ada dua jenis surat, yaitu ekstern dan
intern. Surat yang dikirimkan oleh Prof. Kho, berdasarkan
pedoman tersebut meskipun ditujukan kepada Menristek,
jelas adalah surat ekstern dan bukan surat intern (lihat
lampiran 27, halaman 11 dan 12). Dalam pedoman tersebut,
dijelaskan pula bahwa “Tembusan merupakan lembaran
penyampaian informasi kepada instansi yang mempunyai
keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan
informasi surat sebagaimana dikomunikasikan instansi yang
terdapat di kepala surat” (lampiran 27, halaman 8). Maka
wajar saja apabila yang menerima tembusan
menindaklanjuti informasi yang diperoleh itu sesuai dengan
keperluannya.
www.ginandjar.com 5
untuk pemasaran minyak dan hasil minyak, dan KK-III
untuk optimasi kilang. Sejak tahun 1984, yaitu sejak masa
kabinet sebelumnya Prof. Kho telah menjabat sebagai
Ketua KK-III (Lampiran 17a dan 17b)
Masalah yang dikemukakan Prof. Kho tersebut
sangat prinsipil, karena sistem pendanaan merupakan salah
satu dasar pertimbangan yang telah ditetapkan sejak awal
proyek ini, yaitu harus non recourse. Maka sudah
sepatutnya kami sebagai penerus tugas Mentamben
memperhatikan pandangan tersebut. Oleh karena itu, kami
meminta Sekretaris DKPP untuk memasukkan ke dalam
surat jawaban kami kepada Pertamina yang sedang
dikonsepkan oleh Sekretaris DKPP, agar surat dari BPPT
tersebut mendapat perhatian Pertamina (lampiran 18b).
Demikianlah, maka atas surat Pertamina tersebut,
kami menyampaikan surat jawaban kepada Pertamina pada
tanggal 10 Agustus 1989 (lampiran 19). Dalam surat
tersebut kami menyatakan empat hal. Pertama,
mendukung usaha yang dilakukan Pertamina dalam
mencari penyesuaian pendapat dengan pihak konsorsium.
Kedua, sesuai dengan mekanisme yang berlaku, dan
karena sejak awal proyek ini Pemerintah telah menugaskan
BPPT (lampiran 2 dan lampiran 3), kami minta Pertamina
untuk memperhatikan saran BPPT. Saran BPPT perlu
diperhatikan karena wakil BPPT di DKPP secara ex-officio
adalah penanggung jawab KK-III DKPP. Terlebih lagi
dalam pandangan BPPT tersebut terdapat hal yang sangat
prinsipiil bagi proyek ini, yaitu konsep pendanaan non
recourse. Ketiga, kami minta perhatian khusus agar sejauh
mungkin memanfaatkan produksi dalam negeri, agar
proyek ini memberi nilai tambah bagi dunia usaha
Indonesia. Keempat, agar Pertamina melaporkan hasil
negosiasi terakhir kepada Menko Ekuin dan Wasbang
untuk mendapat penilaian serta persetujuannya sesuai
dengan ketentuan Inpres Nomor I Tahun 1988 tentang Tata
Cara Pengadaan Barang dan Jasa (lampiran 9).
Isi dari surat tersebut (lampiran 19) perlu kami
jelaskan setiap butirnya dengan lebih terperinci dan perlu
dikemukakan alasannya, karena tuduhan KKN di Proyek
Balongan ini seringkali dikaitkan dengan surat tersebut.
Mengenai hal pertama, seperti tercantum pada
alinea pertama surat tersebut, kami justru mendukung
usaha yang dilakukan Pertamina dalam mencari
penyesuaian pendapat dengan pihak konsorsium. Jadi surat
tersebut bukan dimaksudkan untuk mendukung harga dari
manapun sumber perhitungannya, karena secara aturan
yang berlaku, tidak ada sedikitpun wewenang kami dalam
menetapkan harga pembangunan kilang. Justru akan lebih
baik kalau Pertamina dapat menekan harga pembangunan.
Mengenai proses negosiasi harga pembangunan kilang, hal
itu sepenuhnya merupakan wewenang Pertamina karena
secara prinsip kebijaksanaan pembangunan kilang sudah
disetujui DKPP pada kabinet sebelumnya, sedangkan
Pertamina adalah instansi yang bertanggungjawab
melaksanakan dan menjabarkan kebijaksanaan tersebut.
Sikap ini diperkuat pada butir 3 di mana kami
sampaikan agar Pertamina melaporkan hasil negosiasi,
khususnya besarnya nilai proyek, kepada Menko Ekuin
dan Wasbang untuk mendapat persetujuannya.
Sedangkan dalam butir 1 yang dimintakan
perhatian oleh Pertamina adalah evaluasi teknis BPPT dan
prinsip pembiayaan proyek ini yang harus non-recourse
bukan recourse. Jika proyek ini menjadi recourse, maka
akan bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah sejak
awal seperti yang dikemukakan oleh Menristek/Ka. BPPT
dengan surat pada tanggal 1 Juni 1987 (lampiran 3) serta
ijin prinsip yang telah diberikan oleh Mentamben/Ketua
DKPP pada bulan Maret 1988 (lampiran 8). Konsep yang
berbeda antara BPPT dan Pertamina terutama dalam soal
recourse dan non-recourse dalam sistem pendanaannya,
dengan sendirinya seperti kami utarakan dimuka,
mengakibatkan perbedaan estimasi nilai proyek karena
asumsi-asumsi pendanaan yang digunakan akan berbeda
pula. Namun mengenai harga, instansi yang berwenang
menilai dan menetapkan sesuai Inpres Nomor I Tahun
1988 adalah Menko Ekuin dan Wasbang (lampiran 9).
Maka meskipun proyek ini bersifat non recourse dan tidak
dibiayai oleh APBN, dalam menentukan nilai proyek kami
mengingatkan Pertamina sebagai BUMN agar berpedoman
pada Inpres Nomor 1 Tahun 1988 yang ditetapkan pada
bulan Maret 1988 tersebut.
Salah satu tujuan adanya Inpres Nomor 1 tahun
1988 tersebut adalah untuk “diperolehnya harga yang
paling menguntungkan negara dan dapat
dipertanggungjawabkan”. Dengan demikian persetujuan
Menko Ekuin dan Wasbang tidak dimaksudkan hanya
bersifat pro-forma, atau hanya mengikuti usul dari instansi
teknis pemilik proyek, tetapi sungguh-sungguh harus telah
melewati penelitian dan pengkajian, sehingga diyakini
telah diperolehnya harga yang menguntungkan negara dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 8
Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak
dan Gas Bumi Negara, pasal 16, tugas dan kewenangan
Dewan Komisaris Pertamina untuk Pemerintah adalah
menetapkan kebijaksanaan umum perusahaan, mengawasi
pengurusan perusahaan dan mengusulkan kepada
Pemerintah langkah yang perlu diambil dalam rangka
menyempurnakan pengurusan perusahaan, termasuk
susunan Direksi Perusahaan (lampiran 1).
Sedangkan mengenai kedudukan dan fungsi
Menteri itu sendiri, dalam Keppres Nomor 44 Tahun 1974
pasal 6 (lampiran 31) dinyatakan :
(1) Menteri adalah pembantu Presiden dalam bidang yang
menjadi tugas kewajibannya disamping kedudukannya
selaku pimpinan Departemen.
www.ginandjar.com 6
(2) Menteri mempunyai tugas :
a) Memimpin Departemennya sesuai dengan tugas
pokok yang telah digariskan oleh Pemerintah, dan
membina aparatur Departemennya agar berdayaguna
dan berhasilguna.
b) Menentukan kebijaksanaan pelaksanaan bidang
Pemerintahan yang secara fungsionil menjadi
tanggungjawabnya sesuai dengan kebijaksanaan
umum yang ditetapkan oleh Presiden;
c) Membina dan melaksanakan kerjasama dengan
Departemen, Instansi, dan Organisasi lainnya
untuk memecahkan persoalan yang timbul,
terutama yang menyangkut bidang tanggungjawabnya.
Surat kami tanggal 10 Agustus 1989 tersebut
justru menggambarkan bahwa kami selaku Mentamben
secara prinsipiil memang tidak ingin terlibat atau
melibatkan diri dalam masalah penentuan pemenang
ataupun besarnya nilai proyek yang bukan menjadi
wewenang kami. Pola atau sikap kami tersebut merupakan
pola kebijaksanaan yang baku dan berlaku untuk semua
proyek di lingkungan Deptamben, bukan hanya untuk
proyek Balongan ini saja, dan bukan hanya proyek di
lingkungan Pertamina saja. Mengenai hal ini dapat dilihat
pada dokumen yang ada baik di Deptamben maupun
instansi-instansi atau BUMN di lingkungan Deptamben.
Untuk lebih menegaskan kebijaksanaan
Mentamben/Ketua DKPP dalam hal pengadaan barang dan
jasa di lingkungan Pertamina mengacu kepada Inpres
Nomor 1 Tahun 1988, khususnya dalam rangka pengadaan
barang dan jasa oleh Kontraktor Production Sharing atau
KPS (yang merupakan kegiatan terbesar pengadaan
barang dan jasa di lingkungan Pertamina), kami telah
mengeluarkan petunjuk pelaksanaannya pada bulan April
1988 dan diperbaharui lagi pada bulan September 1988.
Surat tersebut dikeluarkan untuk menegaskan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1988
berlaku pula bagi KPS. Disitu secara jelas dan tegas
ditunjukkan bahwa untuk penetapan kontrak diatas Rp. 3
milyar, penetapan dilakukan oleh Pertamina setelah
mendapat persetujuan Menko Ekuin dan Wasbang
(lampiran 13). Tidak ada satu patah katapun yang
menyebut adanya pengarahan atau persetujuan
Mentamben/Ketua DKPP. Inpres Nomor 1 Tahun 1988
serta surat Mentamben tersebut keluar ja uh sebelum surat
kami tanggal 10 Agustus 1989 menanggapi surat Dirut
Pertamina tanggal 2 Agustus 1989 tersebut diatas. Dengan
demikian sikap dan kebijaksanaan Mentamben untuk tidak
ikut campur dalam soal penentuan harga atau biaya proyek
telah menjadi pengetahuan para pejabat Departemen,
pejabat Pertamina serta BUMN di lingkungan Departemen
Pertambangan dan Energi lainnya.
Mengenai butir 2, penggunaan kemampuan
nasional dalam proyek-proyek pembangunan, telah
merupakan kibijaksanaan pemerintah seperti kami
kemukakan pada awal penjelasan ini. Kebijaksanaan
penggunaan barang dan jasa dalam negeri itu tercantum
pula dalam Inpres Nomor I Tahun 1988 (lampiran 9
halaman 7).
Rupanya pada hari yang bersamaan dengan surat
Mentamben tanggal 10 Agustus 1989, Pertamina mengirim
surat kepada Mentamben, menanggapi surat Prof. Kho
tanggal 2 Agustus 1989 yang tembusannya dikirim juga
kepada Pertamina (lampiran 20). Dalam surat tersebut,
Pertamina menanggapi persoalan harga yang dicantumkan
dalam surat Prof. Kho tersebut. Oleh karena kami telah
memberi petunjuk dengan surat tanggal 10 Agustus 1989,
maka kami tidak memberi petunjuk lagi atas surat tersebut.
Setelah mengadakan negosiasi kembali, Pertamina
mengajukan permohonan persetujuan pelaksananaan
proyek Exor-I kepada Menko Ekuin dan Wasbang dengan
surat tanggal 7 September 1989. Dalam pengajuan
tersebut, tercantum harga hasil evaluasi dan negosiasi,
disertai penyataan bahwa harga yang diusulkan memang
benar-benar telah memenuhi persyaratan yang
menguntungkan negara dan dapat dipertanggungjawabkan
(lampiran 21). Persetujuan dari Menko Ekuin dan
Wasbang tentang pelaksanaan proyek tersebut serta
estimasi nilai proyek keluar dengan surat tanggal 6
Oktober 1989 (lampiran 22).
Meskipun telah ada persetujuan tersebut Pertamina
tidak segera menandatangani kontrak. Dalam rapat DKPP
bulan Maret 1990 (risalahnya pada lampiran 23), sekalipun
Menko Ekuin dan Wasbang sudah menyetujui besarnya
nilai proyek, para anggota DKPP membahas sekali lagi
soal keekonomian proyek termasuk tentang penunjukkan
konsorsium, serta tidak jadi diberikannya grant dan soft
loan dari Pemerintah Inggris. Sebagai pimpinan sidang,
kami bahkan mengusulkan agar EXOR yang lain supaya di
tenderkan dan jangan ada penunjukkan langsung.
Mengingat pembangunan kilang ini berawal dari
pembicaraan Presiden dengan Perdana Menteri Inggris,
dan dalam konsep semula ada komponen bantuan
Pemerintah Inggris, maka pembatalan itu dilaporkan
kepada Presiden. Beliau memberi petunjuk untuk tetap
melanjutkan proyek EXOR ini, sepanja ng masih tetap
ekonomis. Concern beliau senantiasa adalah masalah
waktu3).
3 Sebagai contoh concern Presiden mengenai kehilangan
waktu, pada bulan Februari tahun 1991, setelah proyek ini
disetujui dan dalam proses pembangunan, beliau masih
memberi petunjuk agar pembangunan kilang untuk ekspor,
segera diputuskan. Petunjuk tersebut melalui Men/Sesneg
Sdr. Moerdiono diteruskan kepada Menko Ekuin dan
Wasbang, Menkeu, Mentamben, Meneg PPN/Ketua
www.ginandjar.com 7
Analisis teknis dan keuangan dilakukan sekali lagi
secara lebih mendalam oleh KK-I bersama KK-III dan
Pertamina dan hasilnya disampaikan oleh Ketua KK-I
melalui surat tanggal 4 Agustus 1990 yang menyimpulkan
bahwa proyek EXOR ini secara ekonomis cukup wajar
(lampiran 24). Analisis itu telah memperhitungkan tidak
adanya komponen grant dan soft loan dari Inggris4).
Sebagai catatan Ketua KK-I, Drs. Joesoef Soejoed adalah
Deputi Kepala BPKP, dengan demikian hasil analisis dari
pejabat-pejabat yang kompeten dan ahli dalam bidangnya
tersebut tidak ada alasan untuk diragukan.
Sebagai tambahan, belakangan kami memperoleh
beberapa bahan penjelasan mengenai kilang di Thailand
milik Caltex yang dibangun pada saat yang hampir
bersamaan, seperti yang pernah dikemukakan oleh
Menristek/Ka. BPPT kepada Presiden dalam surat tanggal
1 Juni 1987 (lampiran 3 halaman 5). Kami memperoleh
copy surat yang menginformasikan biaya pembangunan
kilang yang dibangun oleh perusahaan Amerika Caltex di
Thailand dari perusahaan itu sendiri kepada Pertamina
(lampiran 29a), dan perbandingan harga yang dilakukan
oleh Pertamina dengan kilang Balongan (lampiran 29b).
Kedua kilang tersebut dibangun pada waktu yang
bersamaan, mempunyai kapasitas yang hampir sama, dan
dari analisis tersebut terlihat bahwa harga keduanya
hampir sebanding.
Perusahaan-perusahaan Amerika diawasi secara
seksama oleh berbagai lembaga di bawah peraturanperaturan
yang sangat ketat, agar tidak merugikan negara,
masyarakat dan pemegang sahamnya. Disamping
pengawasan oleh Securities and Exchange Commission
(SEC) bagi perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa
saham, serta lembaga perpajakan Amerika yang terkenal
sangat keras (Internal Revenue Service, IRS), ada aturanaturan
yang sangat ketat dalam undang-undang anti
Bappenas, Gubernur BI dan kepada Dirut Pertamina
(lampiran 26).
4 Mengenai pembatalan dana grant dan soft loan dari Inggris
beberapa korespondensinya dapat dilihat pada lampiran 11
serta lampiran 25a, 25b, 25c dan 25d. Dapat dilihat bahwa
selama kami menjadi Mentamben, telah dua kali kami
meminta Bappenas agar mengurus soal grant dan soft loan
Inggris itu. Sesungguhnya upaya tersebut telah harus
dilakukan sebelum DKPP menyetujui kerjasama dengan
konsorsium Foster Wheeler pada bulan Maret 1988 dan
sebelum Pertamina memulai negosiasi dengan konsorsium
tersebut. Sehingga tidak terjadi pembatalan bantuan
tersebut pada saat proyek ini telah jauh dipersiapkan.
Mungkin apabila telah diketahui sebelum memberi
persetujuan terhadap penunjukkan Foster Wheeler dan
sebelum negosiasi dimulai, bahwa grant dan soft loan itu
sebenarnya tidak akan ada, Pemerintah dapat
mempertimbangkan langkah-langkah lain.
korupsi bagi perusahaan-perusahaan Amerika yang
beroperasi di luar negeri (Foreign Corrupt Practices Act).
Pada bagian akhir penjelasan ini, ingin kami
sampaikan bahwa kalau kita melihat sekarang ini di mana
menurut informasi yang kami peroleh, 100% kebutuhan
BBM: bensin, minyak tanah, solar di DKI Jakarta dan
sekitarnya serta 100% kebutuhan LPG di DKI Jakarta dan
Jawa Barat dipasok dari Kilang Balongan, maka kita bisa
menyimpulkan bahwa dari segi kebijaksanaan (public
policy) keputusan untuk membangun kilang tersebut
merupakan kebijaksanaan yang tepat dan menguntungkan
negara. Sulit membayangkan apa yang terjadi saat ini,
khususnya dalam keadaan krisis ekonomi seperti sekarang
ini, apabila untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam
negeri kita harus banyak bergantung kepada luar negeri.
Betapa rawannya ketergantungan tersebut, baik secara
ekonomis maupun politis. Terlebih lagi kita melihat
betapa besar subsidi BBM yang harus diberikan
pemerintah.
Kilang ini telah dibangun dengan tanpa
menggunakan anggaran negara (APBN) dan anggaran
Pertamina. Dalam konsep pendanaannya pembangunan
kilang ini bersifat non recourse, dan dibiayai kembali dari
nilai tambah hasil pengolahan minyak mentah menjadi
produk-produk BBM. Bahan bakunya diperoleh dari
minyak bumi kita, dengan harga internasional. Jadi tidak
ada pengurangan penerimaan negara. Bahkan dengan
adanya kilang ini, ada keuntungan lain yakni
meningkatnya nilai minyak berat Duri. Menurut
keterangan Pertamina sebelum ada kilang ini perbedaan
harga antara minyak Duri dan Minas adalah sekitar USD
3,35 per barel, dan karena setelah kilang ini dibangun
pasokannya berkurang 100 ribu barel per hari, maka
perbedaan harga tersebut berkurang menjadi USD 1,53 per
barel (lampiran 28). Maka ada tambahan keuntungan USD
1,82 untuk setiap barel penjualan minyak Duri yang berarti
meningkatkan penerimaan negara dari penjualan minyak
Duri. Selain itu kilang ini bukan hanya telah menaikkan
pendapatan negara dari penjualan minyak bumi, tetapi juga
menaikkan harga ekspor LNG karena formula harganya
dikaitkan antara lain dengan harga minyak berat Duri.
Selain itu, dengan adanya pipa penyalur BBM dari
Balongan ke Jakarta, penyediaan BBM di Jakarta dan
sekitarnya selain menjadi lebih handal, juga menyebabkan
berkurangnya kepadatan lalu lintas kapal di pelabuhan
Tanjung Priok.
Apabila seluruh biaya pembangunan kilang telah
terlunasi (menurut informasi terakhir yang kami peroleh
pada akhir tahun 2002), kilang ini menjadi sepenuhnya
milik kita dan seluruh keuntungannya menjadi keuntungan
bagi negara. Kesimpulannya, kilang ini telah menghasilkan
keuntungan bagi keuangan negara dan sekaligus
memperkuat ketahanan ekonomi bangsa kita.
www.ginandjar.com 8
Dengan demikian cukup jelas kiranya gambaran
mengenai peran kami selaku Menmud UP3DN/Ketua
BKPM dan Mentamben di dalam proyek ini yang
dilakukan dalam tataran kebijaksanaan publik dan sebatas
seperti yang dikemukakan diatas. Sedangkan hal-hal teknis
termasuk konfigurasi kilang, keputusan harga dan pelaksanaan
pekerjaan, sepenuhnya adalah wewenang para ahli
dan instansi yang memang mempunyai kewenangan.
Semua tahapan dan prosedur yang berlaku yang menjadi
tugas dan wewenang kami telah kami tempuh dan
upayakan agar memperoleh hasil yang terbaik bagi
negara.
Besar harapan kami dengan adanya penjelasan ini,
akan diperoleh informasi yang lebih komprehensif dan
benar, sehingga dapat memperlancar upaya mendudukkan
masalah ini secara tepat, dalam rangka mencari kebenaran
dan menegakkan keadilan.